Jumat, 14 Juni 2013

Praktik Hukuman Mati di Timur Tengah dan Afrika Utara

Kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara (Middle East and North Africa/MENA) adalah satu dari dua pilar utama tempat hukuman mati masih diberlakukan. Asia menjadi pilar satunya lagi. Maka dalam 5th World Congress Against Death Penalty (Kongres Dunia ke-5 Melawan Hukuman Mati) yang berlangsung di Madrid, Spanyol, pembahasan mengenai praktik hukuman mati di kawasan ini menjadi salah satu sesi utama.

Yang membuat rumit adalah saling terkaitnya aturan hukum negara-negara di kawasan ini dengan aspek sejarah keagamaan yang kemudian menginspirasi penjatuhan hukuman mati. Filsuf Tunisia dan antropolog Quran, Youssef Seddik yang menjadi salah satu panelis dalam sesi pembahasan hukuman mati di kawasan MENA mengemukakan pendapatnya.

Ia mengakui, saat ada populasi yang merasa bahwa agamanya yang terbaik, mereka akan dengan buta mengikuti ajaran agama tersebut. "Memang, hukum 'mata dibalas mata' itu ada dalam Quran, namun manipulasi akan hukuman ini sudah berlangsung begitu lama akibat interpretasi sepotong-sepotong dari pembacaan Quran."

Meski hukum itu tercantum dalam Quran, namun menurut Youssef, hukum tersebut diperuntukkan bagi "sons of Israel". "Orang-orang Islam lupa, bahwa ini bukan hukum mereka," kata Youssef.

Ia kemudian merujuk pada konsep 'qisas' yang disebut dalam surat Al-Baqarah. Youssef tak mengartikan 'qisas' sebagai pembalasan, tapi sebagai 'reparation' atau upaya memperbaiki kesalahan yang sudah dilakukan atau kompensasi. Youssef juga menambahkan bahwa di ayat tersebut ada penekanan bahwa upaya memperbaiki kesalahan ini harus dilakukan secara baik, adil, dan penuh kasih. Kompensasi inilah yang dalam ayat Quran dijanjikan memiliki peringanan beban tersendiri buat korban. Sementara pelakunya atau "mereka yang sudah melampaui batas kebenaran," akan mendapat hukuman menyakitkan tersendiri dari Tuhan.

Dari interpretasi ini Youssef menyimpulkan bahwa, jika populasi Timur Tengah dan Afrika Utara membaca Quran secara tepat, dan tak hanya mengikuti buta, maka pemberian hukuman mati di kawasan ini bisa dihapuskan sejak berabad-abad lalu.

Youssef kemudian menyebut contoh surat lain, Al-Maidah di ayat 28 yang berkisah tentang dua saudara.  Ayat tersebut mengutip perkataan, "Jika memang kamu merentangkan tangan untuk membunuhku, saya tak akan merentangkan tangan saya untuk membunuhmu, karena saya takut pada Allah." Konsep ini, menurut Youssef, sesuai dengan ajaran antikekerasan Mahatma Gandhi dengan simbolisme memberi pipi lain saat satu pipi ditampar.

Pengaruh agama pada kebijakan kenegaraan bukanlah hal yang spesifik pada Islam dan kawasan MENA. Youssef mengingatkan bahwa pengaruh agama juga terlihat ketika berbicara soal Paus dan kaitannya dengan pil KB atau sistem kontrasepsi di negara-negara mayoritas penganut Katolik atau pengaruh agama pada penentangan pernikahan sesama jenis di Amerika Serikat.

"Tuhan sudah memberi tahu bahwa kita punya keyakinan agama yang berbeda, tapi di atas itu semua kita juga adalah manusia. Jika kita masih mengikuti hukuman ini, artinya kita belum terangkat sebagai mahkluk hidup yang absolut, yang melewati batasan perbedaan etnis, kelompok, atau agama dan mencapai kemanusiaan seutuhnya."

Sentimen Youssef soal kemanusiaan ini juga dikuatkan oleh pernyataan penerima Nobel Perdamaian Mairead Maguire. Menurutnya, perjuangan menghapus hukuman mati adalah salah satu pekerjaan penting yang menunjukkan bahwa manusia harus berevolusi lebih dari sekadar mesin pembunuh.

"Saat ini ada pria, wanita, dan anak-anak yang duduk dalam sel di kepala mereka sendiri, bertanya-tanya kapan mereka akan dibunuh. Menurut saya ini kejam. Kita harus meminta pemerintah untuk tidak membunuh mereka dalam nama kita."

Penjatuhan hukuman mati di kawasan MENA seringnya bukan soal aksi kriminal berat. Di Mesir, seperti disampaikan oleh Nasser Amin, direktur Arab Center for the Independence of the Judiciary and Legal Profession, hukuman mati lebih untuk menakut-nakuti oposisi politik. Ada 150 jenis kejahatan di Mesir yang bisa dikenai hukuman mati, dan ini sering sekali digunakan dan sangat mengerikan pelaksanaannya.

Setelah pergantian rezim Mubarak, kini pemerintahan Mesir ada di tangan ekstrem kanan yang tak menunjukkan tanda-tanda akan menghapuskan hukuman mati. Malah mereka mau penggunaannya terus diperluas. Di sisi lain, ada gerakan masyarakat sipil yang tak mau terus berada di bawah rezim baru dengan perilaku mereka yang mengentengkan perlindungan pada nyawa manusia. Maka perubahan terhadap status hukuman mati di Mesir sangat tergantung pada perubahan rezim pemerintahan.

Kondisinya berbeda lagi di Lebanon, satu-satunya negara Arab yang tak menggunakan Islam sebagai sumber undang-undang karena pluralisme agama penduduknya. Meski begitu tetap saja, pemerintah bisa menjatuhkan hukuman tersebut saat ada tekanan dari komunitas religius.

Ada yang menjadi sorotan dari Ghassan Moukheiber, anggota parlemen Lebanon dan pelapor untuk Komite Hak Asasi Manusia di parlemen. Kadang media turut berperan memberikan cerita-cerita dramatis dan menjadi vektor penting dalam sentimen yang berkembang di masyarakat. "Mereka bahkan muncul dari balik ruang editorial dan jelas-jelas berpihak pada menjatuhkan hukuman terberat."

Ghassan menyebut satu hal yang menjadi kekuatan dan keuntungan kawasan ini dalam upaya menghapus hukuman mati, yaitu kesamaan bahasa. "Kita tak hanya menerbitkan teks-teks hukum yang rumit, tapi juga harus mempunyai ungkapan bahasa Arab yang tepat untuk membangun argumen dalam melawan opini publik."

Argumen itu pun harus menangkap esensi bahwa penghapusan hukuman mati tidak berarti membela para pelaku kejahatan atau membebaskan mereka, tapi memberi hukuman yang memenuhi standar kemanusiaan. Yang menghukum para pembunuh tanpa ikut-ikutan membuat kita juga menjadi mesin pembunuh.


Sumber
Sekian: Praktik Hukuman Mati di Timur Tengah dan Afrika Utara

0 komentar:

Posting Komentar