Kamis, 13 Juni 2013

Langkah Panjang Menuju Penghapusan Hukuman Mati

Langkah Panjang Menuju Penghapusan Hukuman Mati

Hukuman mati bukan hal mudah untuk dilawan, bahkan sudah menjadi keniscayaan untuk mendukung pelaksanaan hukuman tersebut buat para kriminal yang dianggap melakukan kejahatan berat.

Namun pada 12-15 Juni 2013, ada sekitar 1500 orang aktivis, pengacara, dan politisi dari 90 negara yang menghadiri Kongres Dunia Melawan Hukuman Mati (World Congress Against the Death Penalty) di Madrid, Spanyol. Ini adalah untuk kelima kalinya acara tersebut diadakan, setelah pertama kali diadakan di Strasbourg pada 2001, kemudian di Montreal pada 2004, Paris (2007), dan Jenewa (2010).

Sejak 2001, mereka berkumpul setiap tiga tahun untuk membahas penghapusan hukuman mati di berbagai negara di dunia. Baik peserta maupun penyelenggara kongres ini sadar betul, posisi yang mereka ambil bukanlah sesuatu yang populer.

Dalam konferensi pers sebelum pembukaan kongres tersebut di Palacio Municipal de Congresos, Madrid, Presiden Koalisi Dunia Melawan Hukuman Mati, Florence Bellivier mengatakan bahwa setiap negara punya konteks budaya dan ekonomi masing-masing mengenai hukuman mati. Dan evolusi setiap negara tersebut menuju penghapusan hukuman mati selalu  saja sulit. "Lewat kongres ini kami ingin gerakan abolisi tidak hanya ada di satu negara saja, atau ada di negara Eropa tertentu saja."

Kongres ini disponsori oleh empat negara Eropa yang sudah menghapus hukuman mati, yaitu Spanyol, Norwegia, Swiss, dan Prancis. Saat ini, sudah ada 97 negara di dunia yang menghapus hukuman mati. Ada 57 negara (termasuk Indonesia) yang masih memberlakukan hukuman mati, dan 36 negara lain yang sebenarnya masih memberlakukan hukuman mati namun tak melakukan eksekusi dalam 10 tahun terakhir. Dan 8 negara lain sudah menghapus hukuman mati, kecuali terjadi hal khusus.

Apa sebenarnya yang membuat hukuman mati harus dihapuskan?

Rapha�l Chenuil-Hazan, direktur Ensemble contre la peine de mort (ECPM) dalam pidato pembukaannya mengatakan, ini hukuman yang kejam, tak manusiawi, dan merendahkan, bukan hanya untuk si narapidana tapi masyarakat yang menjatuhkan hukuman tersebut.

"Hukuman mata dibalas mata ini adalah penalti yang tak beradab dan kuno," kata dia.

Salah satu sesi utama dalam konferensi ini rencananya akan membahas hukuman mati di kawasan negara-negara Timur Tengah, lengkap dengan kajian keagamaan, sosiologis, serta legalnya. Tahun ini, konferensi juga akan memfokuskan diri pada Iran. Tak ketinggalan aktivitas hukuman mati di negara-negara Asia (termasuk Indonesia) bakal jadi bahasan.

Jerry Givens, seorang mantan sipir di negara bagian Virginia, Amerika Serikat, yang sudah mengeksekusi 62 orang punya pendapat soal penghapusan hukuman mati. Ada 25 narapidana yang ia suntik mati, dan 37 lain yang ia setrum dengan 3000 volt listrik.

"Balas dendam itu bukan keadilan. Kita hanya membuat senang ayah atau ibu yang anaknya terbunuh, sehingga mereka mendapat penutup. Namun bagaimana kita memberi 'penutup buat keluarga yang dijatuhi hukuman mati? Kalau misalnya pemerintah mau menurunkan tingkat kriminalitas, kenapa dengan membunuh?"

Givens kemudian menyoroti kondisi pengadilan yang dijalani narapidana di Amerika Serikat. "Di negara saya, jika kamu tak punya uang, maka kamu tidak akan mendapat pengadilan yang adil. Bagaimana jika dari 62 orang yang saya bunuh tersebut, ada yang mendapat pengadilan tak adil? Jika mereka dihukum penjara dan baru diketahui 20 tahun kemudian bahwa napi ini ternyata tidak bersalah, dia bisa dilepas. Tapi jika mereka dihukum mati, saya tak bisa menggali mereka dari kuburan, menghidupkan mereka lagi."

"Kematian itu pasti akan datang. Jika Tuhan mengambil nyawa, dia tetaplah Tuhan. Jika saya yang mengambil nyawa, saya adalah seorang jagal."

Kata-kata Givens si mantan jagal itu disambut oleh air mata dari Tanya Ibar. Suami Tanya, Pedro Ibar, sudah 19 tahun berada dalam 'antrian' hukuman mati di negara bagian Florida, AS. Pedro Ibar adalah satu-satunya warga negara Spanyol yang dijatuhi hukuman mati di negara bagian tersebut.

"Tak mungkin mendengar kata-kata seperti itu dari sipir yang mengawasi suami saya," kata dia. "Di Amerika, saya dibilang kekasih seorang pembunuh, di sini saya mendapat dukungan luar biasa. Mereka berusaha mengganti hilangnya nyawa orang lain dengan mencabut nyawa suami saya, ini bukanlah keadilan. Apa pembenarannya? Pencarian keadilan bukanlah tentang melakukan sesuatu yang mudah atau populer, tapi tentang melakukan hal yang benar."

Sentimen Tanya Ibar tersebut dibenarkan oleh pernyataan dari Menteri Luar Negeri Prancis, Laurent Fabius dalam upacara pembukaan Kongres. "Inilah saatnya politisi berani melawan argumen lama, bahwa penghapusan hukuman mati akan menghancurkan masyarakat dan meningkatkan kejahatan."

Fabius bercerita bahwa Prancis baru 30 tahun lalu menghapuskan hukuman mati. Pada saat itu, masyarakatnya sangat mendukung penjatuhan hukuman tersebut. Saat penghapusan hukuman mati diberlakukan, sentimen yang berlaku di masyarakat Prancis pun begitu tak ramah. Fabius tapi menekankan, "Penghapusan hukuman mati di Prancis membuat kita sadar bahwa keberanian para politisi ini melawan opini mayoritas publik terbayar, dan bahwa apa yang mereka lakukan adalah hal yang tepat."

Gry Larsen, Wakil Menteri Luar Negeri Norwegia, mengakui beratnya langkah yang harus diambil menuju penghapusan hukuman mati di sebuah negara. "Tak bisa sekaligus, ada tahap-tahap yang bisa diambil lebih dulu sebelum penghapusan hukuman mati."

Pertama, bisa dengan melakukan moratorium hukuman mati sehingga mengurangi jumlah narapidana yang dieksekusi, lalu kemudian membatasi jumlah kejahatan kriminal yang bisa mendapat hukuman mati, sampai kemudian hukuman itu dihapuskan.

Terorisme
Di Indonesia, kadang hukuman mati dilakukan tak lewat jalur hukum. Eksekusi pelaku terorisme ada yang melalui proses pengadilan, tapi sering juga terjadi tanpa melalui proses pengadilan, hanya dilakukan saat penggerebekan oleh Detasemen 88, meski mereka masih terduga teroris. Mungkin yang jadi pertimbangan adalah hilangnya nyawa yang disebabkan oleh aksi terorisme tersebut.

Namun Soad El Khammal, seorang ibu dan pengacara yang kehilangan dua anak laki-lakinya dan suaminya karena ledakan bom di Casablanca pada Mei 2003, tetap tak mendukung pelaksanaan hukuman mati.

"Jika saya ditanya saat itu, mungkin saya akan membunuh sendiri para pelaku pengeboman itu dengan tangan saya. Namun setelah 10 tahun berlalu, saya berintrospeksi. Sebagai seorang ibu yang pernah melahirkan anak, saya tak bisa melihat orang dibunuh seperti itu lewat hukuman mati. Dan yang kedua, saya tetap ingin melihat mereka dipenjara selama seumur hidup, kemudian mungkin mereka akan menyesali apa yang mereka lakukan."

"(Mendukung penghapusan hukuman mati) bukanlah memberi ampunan, tapi membiarkan mereka merasa bersalah seperti seharusnya."


Sumber
Sekian: Langkah Panjang Menuju Penghapusan Hukuman Mati

0 komentar:

Posting Komentar